Kamis, 02 April 2015

Pagi yang menggigit hati

PAGI YANG MENGGIT HATI Tangan kanan ku yang menggenggam kitab dan lembaran kertas putih yang setiap harinya aku gunakan untuk mengabsen jamaah teman-teman santri ku yang kini mulai lusuh karena coret-coretan anak yang protes minta di izinkan. Dengan terpaksa aku sering mengalah menuruti apa yang mereka mau, padahal sesungguhnya aku tau itu hanya alasan mereka saja. disini aku memang menjabat sebagai seksi jamiyah yang tugasnya adalah menggugah teman-teman santri ku untuk pergi kemushola, entah itu untuk melakukan sholat jamaah atupun menyuruh mereka untuk mengaji. Menurut ku, ini tugas yang teramat berat. Karena mau tidak mau aku harus selalu mengerjakan apa yang aku perintahkan kepada teman-teman ku. Sekali saja aku malas, maka aku akan mendapatkan imbasnya, entah itu protes dari teman-teman yang biasa aku suruh untuk rajin kemusholaa ataupun ketika aku menyuruh mereka kemushola, mereka tidak akan menurut pada ku. Para seksi jamiyah memang dituntut untuk mempunyai integritas yang baik. Aku mendenguskan nafas ku, mencampurkanya dengan embun pagi yang kini tengah menelusup kedalam pori-pori kulit ku. Aku terus berjalan mejelajah malam menuju arah pandangan ku yang sejatinya masih terasa kabur. Tak jarang aku menjumpai teman ku yang berjalan terhuyung-huyung kearah keran wudhu untuk menyegarkan wajah mereka dan menghindar dari rasa kantuk. Suara binatang malam menemani laju langkah ku menuju tempat suci itu. Di sana beberapa teman ku sudah ada yang menunggu. Aku pun masih menjumpai sisa lukisan malam yang menghampar di atas ubun-ubun ku. Aku pun melihat venus atau yang biasa disebut dengan bintang kejora di arah barat cakrawala yang mulai menyapa dengan aura hangatnya. Ayunan kaki ku mulai terhenti ketika ku dekati tempat yang sejak 60 detik tadi aku tuju. 60 detik memang jarak antara kamar ku dengan mushola ini. Akupun kini telah bergabung dengan semua teman ku disini. Dengan sejuta riuh gemuruh suara teriakan teman ku dalam melantun nadhom-nadhoman, aku mulai membuka buku pelajaran ku untuk segera menggabungkan suara ku dengan suara mereka. Aku rasa, saat seperti inilah yang akan aku kenang ketika aku pulang kerumah nanti. Aku tersenyum tipis memikirkan hal itu. Waktu pengabsenan mengaji pun di mulai. Tugas ini biasa dilakukan kang dede pengurus senior kami. Dengan lantang kang dede mulia mengabsen walau tak jarang ia selalu menyelipkan candaanya agar tidak terkesan tegang. Setelah pengabsenan selesai, kami pun melanjutkan nadhoman kami sambil menuggu pengasuh sekaligus guru kami untuk melakukan proses pengajian. Beberapa saat beliau pun datang. Wajah damai itu kini penuh lelah. Mungkin malamnya beliau terlalu sibuk mendo’akan kami para santri badungnya. Terkadang, aku mejumpai wajah itu seperti menangis, dan disaat bersamaan aku seraya melihat beluiau seperi ayah ku sendiri. Tak terasa, aku pun hanyut dalam air mata ku yang mengalir membelah pipi cembung ku. Aku mulai merasa tidak nyaman dengan air mata dan perasaan yang menghinggapi hati ini. Aku memikirkan kedua orang tua ku di sana. Hhmmmmmmmmmmh,,,,aku tersenyum sembari mengusap air mata ku yang masih terus mengalir. Dalam hati aku berkata, “ aku akan bersungguh-sungguh mencari ilmu, dan setelah aku pulang, akan ku bahagiakan kalian”. Pengajian pun berahir yang ditutup dengan do’a bersama. Rabu, 1 april 2015 23.00 wib @Pelukis langit...................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar